
Tahun baru 2025, siapa sangka 2024 berganti dengan begitu cepat? Setidaknya begitu menurutku. Aku menghabiskan 1 hari terakhir tahun lalu bersama rekan kantorku, Mbak Adel dan Mbak Yanti–dalam rangka belajar mobil matic. FYI, aku belum pernah mengendarai mobil matic sama sekali sedangkan Mbak Adel pun masih dalam proses pem-fasih-an. Tapi dengan modal nekat kami langsung gas menuju Senggigi.
Kami berkumpul sekitar pukul 7 lebih di rumah Mbak Adel (kami pake mobil Mbak Adel). Aku mengeluarkan mobil dari garasi sampai mengantar si mobil merah itu menuju Pertamina Pagesangan. Sisanya kuserahkan pada Mbak Adel. Kesan pertama yang aku rasakan dari menyetir mobil matic adalah “Nyaman” “Enak banget” “Selow” “Nggak perlu mikirin kopling” dan bla bla bla… Surprisingly, ternyata aku lebih suka mobil matic dan dengan begitu cita-citaku adalah membelinya (entah kapan kesampaian, Aamiin-in aja hehe).
Btw, kami pergi ke Senggigi bukan sekedar untuk pem-fasih-an mobil, melainkan juga untuk ngonten tentang sebuah proyek baru di Pasar Seni Senggigi. Pasar Seni atau kalau bahasa bulenya Art Market ini emang jadi salah satu icon dan pusat perbelanjaan di masa jaya Senggigi. Sayang, tempat ini (Senggigi) tidak seramai dulu dan misi kami kali ini adalah membangkitkan ekonomi Senggigi lagi dengan cara paling mudah yang bisa kami lakukan, “ngonten”. Semoga Senggigi bisa ramai lagi ya.
Setelah puas mengambil gambar dengan iPhone dan drone, kami melipir menuju bibir pantai Senggigi. Namun, tak lama kami dicegat 2 orang berpenampilan ‘pantai’. Yang jelas mereka meminta uang masuk senilai 2000 ribu rupiah perkepala. Hmmm… 2000? untuk memasuki pantai Senggigi? Bagaimana menurut kalian? Aku sih setuju kalau memang itu untuk menjaga dan memelihara keamanan dan kebersihan pantai. Kalau untuk masuk ke kantung sendiri? Big no. Semoga amanah ya para pemalak penjaga pantai ini.
Karena belum sarapan, kami putuskan membeli nasi bungkus, “Ape kandokne ne Bu?” tanyaku pada ibu pedagang. “Ayam” jawabnya. Percakapan singkat itu kupercaya begitu saja sampai akhirnya si nasi bungkus kubuka dan ternyata… tidak ada daging ayam, yang ada hanya ‘empedu’ ayam yang aku dan Mbak Adel tidak sukai. Kami merasa dikhianati, padahal harapan kami saja yang tinggi. Di lain pedagang, Mbak Yanti membeli pisang goreng yang rasanya juga tidak sesuai harapan. Hmmm… kami mendapat kesan yang buruk sejauh ini. Aku berharap kesialan ini cuma menimpa kami dan bukan menjadi alasan kenapa Senggigi sepi.
Karena sudah bosan dan cukup di Senggigi, kami memutuskan untuk singgah ke Kuta Mandalika–daerah kawasan ekonomi khusus yang bisa dibilang menjadi pesaing terbesar Senggigi. Bagaimana dengan kesan di Kuta? Nanti kita cerita lagi ya.